June 26, 2008

Tenacity and Persistence

s

Recovery tidak pernah, dan tidak akan pernah menjadi sebuah proses yang mudah. Kadang membayangkan saja sudah menjadi problem tersendiri. Banyak hal yang menjadi pertimbangan seorang addict untuk memulai proses recovery. Satu hal, menerima bahwa ia seorang addict sudah cukup sulit untuk dilakukan. Denial, shame and grandiose to name a few. Kemudian bayangan bahwa proses tersebut memerlukan tenaga ekstra untuk melakukannya, ini yang menjadi tembok yang sulit untuk dirobohkan.

Sayangnya, tidak ada metode yang lain selain menjalani proses recovery secara perlahan namun konsisten. Lupakan bantuan obat-obatan, apalagi dukun. Untuk mencapai hasil yang baik, berbagai komponen harus diikutsertakan dalam proses ini, yang akan menjadi satu-kesatuan, tidak terkecuali. Berbagai pendekatan, seperti psikologis, fisik, religi, perilaku, sosial dan lain sebagainya. Variabel-variabel inilah yang dikemas menjadi sebuah program.

Bayangkan seorang addict yang terbiasa hidup tanpa aturan (paling tidak aturan yang secara suka rela dipatuhinya), tanpa kenal waktu. Satu-satunya 'pengingat' akan waktu adalah withdrawal yang dirasakan. Kemudian hidup harus berubah dengan schedule, berbagai aturan dan disiplin. Belum lagi membayangkan mengikuti ajaran agama. Tidak menjadi suatu hal yang mengagetkan untuk menjumpai seorang addict dalam masa pemulihannya sudah lupa langkah-langkah mengambil wudhu, apalagi sholat. Suatu bayangan yang tergambar jelas, yang dimata para addict adalah sebuah ketakutan besar.

Tahun 1996 saya menjalani sebuah program rehabilitasi yang memaksa saya mengubah total kehidupan saya. Shock (both mentally and culturally), kemudian menimbulkan penolakan tersendiri dalam diri saya. Denial yang sudah demikian sulit dihilangkan, timbul lagi. Proses menjadi demikian sulit, ditambah berada di tengah orang-orang baru, lingkungan baru, dengan gaya hidup dan rotasi hari yang sangat berbeda dari yang dijalani sebelumnya. Ada yang mengatakan ini mudah? Pasti dia berbohong, atau masih dalam pengaruh narkoba.

Keseluruhan proses ini membutuhkan nyali yang sangat besar. Saya rasa orang 'normal'-pun akan mengalami kesulitan yang sama apabila harus menjalani perubahan yang demikian kontras. Namun, recovery -seperti yang saya katakan diawal artikel ini- memang seharusnya tidak mudah. Karena kecenderungan addict yang sering, atau selalu taking things for granted akan kembali ke siklus adiksinya dalam waktu yang cepat. Itu yang terjadi dengan pemulihan dengan obat-obatan atau dukun-dukunan, atau bahkan program asal-asalan.

Ketika saya untuk pertamakalinya setelah waktu yang cukup lama jogging malam tadi, saya teringat akan proses yang saya jalani dulu. Kalau ditilik lebih lanjut, and try to connect the dots, saya melihat dengan jelas kesamaan proses itu. Of course, menjalani proses recovery lebih sulit dan panjang, namun inti proses kira-kira sama, We have to be tenacious and persistent.

Ketika jogging, apalagi setelah waktu yang cukup lama, kita tidak bisa memaksa diri dengan berlari kencang diawal. Mulai dengan perlahan, namun pasti. Godaan datang cukup cepat. Didahului orang lain, melihat orang yang jelas lebih jompo dari kita lari lebih cepat, bahkan lirikan orang yang -mungkin saya hanya paraniod- seperti mencibir. Semua harus dilalui dengan keteguhan hati. Kemudian datang godaan yang lebih besar lagi. "Ah, sudah cukup kali ya, untuk hari ini" muncul ketika masih dalam lap ke 3 dari 7 lap yang direncanakan.

Tentunya, kemudian datang rasa keram, nafas ngos-ngosan, bosan, capek dan lain-lain. But I kept on running, and finished my 7 laps. Disitulah saya teringat akan proses recovery yang saya jalani waktu itu. Berbagai godaan, keletihan mental dan psikologis, cibiran orang... semua dapat saya lalui dengan cukup baik. Begitu juga jogging kali ini. Tentu, lebih mudah jogging daripada recovery, saya cuma ingin memberi contoh.

Tanpa ketegaran hati dan ketekunan, recovery tidak akan berhasil. Dan sebenarnya, jogging juga tidak akan berhasil. Demikian juga dengan bisnis, pernikahan, persahabatan, pembenahan diri dan segala hal lain dalam hidup. Tanpa 2 hal itu, ditambah beberapa lagi sikap positif lainnya, tentu apa yang dijalani akan berakhir seperti titanic, tenggelam dan tinggal sejarah.

Lagipula, dengan berbagai kesulitan yang saya alami dalam masa recovery, menjadikan banyak hal dalam hidup saya sekarang menjadi lebih berarti. The harder the struggle, the sweeter the victory. Sekarang adalah bagaimana saya menyadari bahwa tencity and persistence adalah kunci dari keberhasilan, dan mempertahankan 2 hal tersebut dalam setiap hal yang saya lakukan. Saya rasa anda perlu melakukan hal yang sama, be tenacious, be persistent in everything you do. And always strike for the best result.


Blogged with the Flock Browser

June 10, 2008

Guilt kills



Salah satu behavior dari seorang addict adalah tidak mengakui kesalahan/perbuatan dan dengan sadar menyembunyikan hal tersebut agar terhidar dari konsekuensi yang mungkin datang akibat dari perbuatannya. It's a chicken attitude, I know. But don't get me wrong, I know almost everyone is doing it too. Hanya saja di blog ini saya menulis tentang addicts, jadi fokus akan tetap membahas addicts.

Yang lebih memperparah keadaan mental dari seorang addict, bahwa behavior ini begitu mendarah-daging sehingga kadang sebuah kesalahan kecil yang -apabila orang lain tahu pun- kemungkinan outcome dari perbuatan itu tidaklah berat, bahkan mungkin tidak ada konsekuensi buruk yang harus dihadapi sama sekali. Namun paranoia akan konsekuensi yang begitu berat telah terbayang sebelum akal sehat dapat difungsikan. Mungkin karena addict memang jarang sekali memainkan peran akal sehatnya.

Hal ini menciptakan guilty feeling yang menumpuk, karena memang tidak diselesaikan atau dihadapi. Tumpukan ini menjadi begitu besar yang membuat efek snowball. Semakin ia ditambah dengan guilt baru, semakin ia membesar dan membahayakan. Untuk seorang addict, penambahan beban ini dapat di'celengkan' beberapa kali sehari. Kalau saja guilt merupakan sebuah tabungan uang di bank, tentu seluruh addict adalah sebuah kelompok manusia yang sangat kaya raya.

Handling guilts tidak mudah. Betapapun seorang addict dipercaya sebagai individu yang tidak, atau kurang, memiliki sense of knowing whats right and whats wrong, sebenarnya ia tahu, namun ditutupi dengan sempurna oleh topeng yang digunakan. Bagimanpu, topeng adalah topeng, yang merupakan sebuah tool untuk menutupi apa yang ada dibelakangnya.

Guilt yang bertumpuk inilah yang selalunya membuat proses recovery menjadi sulit untuk dijalani. Almost impossible untuk seorang addict menjalani proses ini apabila masih terus dibayangi oleh past yang buruk. Mungkin ia telah put behind all his mistakes atau telah juga dengan kesungguhan dan determinasi tinggi menyadari perlunya menjalani recovery process, namun, apabila guilt ini tidak dealt with dengan baik, maka proses tersebut akan terus berakhir dengan kegagalan. Because guilt kills!

Dengan penanganan yang benar, termasuk dealing dengan guilt secara efektif dalam salah satu metode 'leaving things behind', maka barulah seorang addict dapat sukses menjalani proses recovery. Memperlakukan guilt sebagai sebuah masalah yang perlu ditangani adalah crutial, tidak dapat dilewatkan dan dianggap remeh. Proses ini mungkin memakan waktu lama, tergantung dari kesungguhan dalam menjalaninya. Ini membutuhkan komitmen dari kedua belah pihak, yang menjalani treatment dan orang yang membantu dalam proses tersebut (konselor).
Blogged with the Flock Browser

June 8, 2008

Unity is the key



Hopeless dengan macetnya jalanan Jakarta, sambil ganti-ganti lagu di iPod saya tersenyum dengan satu tulisan di kaca belakang Metro Mini di depan saya yang dengan santai-nya 'parkir' di tengah jalan, dimana sisa jalanan tidak lagi cukup untuk dilewati mobil, hanya motor yang nyelip-nyelip. Biasanya saya akan merasa kesal, namun kali ini tidak. Malah mendatangkan inspirasi. Tertulis di kaca itu "Bersaing kita di jalanan, bersatu kita di pangkalan".

Tahun 1998 adalah mulainya tahun menjamurnya
recovery center di Indonesia, terutama Jakarta. Dimulai oleh sebuah yayasan dimana saya lama bekerja disana, Titihan Respati, kemudian menyusul 'almamater' saya, Rumah Pengasih yang berasal dari Malaysia. Setelah itu banyak bermunculan pusat rehabilitasi baru, baik yang serius maupun yang hanya ikut-ikutan (sesuai karakteristik Indonesia). Of course, kelanjutan dari sekian banyak recovery center ini dapat terukur dari awal. Mereka yang serius tentu akan terus eksis dan bertambah kuat. Lain hal dengan center baru yang mungkin diawali oleh mereka yang gagal di center yang sudah ada, atau para 'mata duitan' yang coba untuk menduitkan kegiatan sosial ini.

Betul, seperti juga anda saya menyadari bahwa tidak peduli seberapa
noble niat kita dalam menolong orang, pasti ada yang mencari emas didalamnya, dan dengan cara yang tidak baik. Lah, wong duit bantuan Tsunami saja dijadikan penambah kekayaan pribadi, apalagi rehabilitasi. Apapun latar belakang center-nya, orang-orang (recovering addict) yang ada didalamnya seharusnya tetap diperhitungkan sebagai seorang recovering addict yang memang sedang mencari cara untuk berhenti dari addiction-nya dan seharusnya tidak di-ikut-sertakan dalam 'politik rehabilitasi' yang terus berkembang menjadi publikasi yang menjijikan.

Untuk mereka yang berada di
center yang kurang baik, mungkin mereka tidak punya pilihan lain karena informasi mengenai center yang baik tidak sampai ke mereka. Kembali lagi kepada anggota didalamnya, karena 'politik' itulah mereka saling bersaing -bukan bersatu-, yang menyebabkan adanya saling tuding dan bad rapping antar para anggota recovery center. Gosip-gosip murahan mulai berterbangan bebas, saling ejek, saling adu-jago dan saling jatuh-menjatuhkan. Dan ini lambat laun mulai ikut pula menjangkiti center yang terhitung berada di jalur yang benar. Pecahnya perkelahian antar center yang sebenarnya bersahabat pada sebuah pertandingan di kompetisi basket antar rehab adalah satu dari snowball effect permasalahan ini.

Recovering addict -tidak seperti masyarakat pada umumnya- adalah sebuah komunitas yang spesial, yang unik dan -correct me if I'm wrong- termasuk dalam kategori minoritas. Seharusnya semua harus bisa mempertahankan kesatuan tanpa terpengaruh oleh 'politik rehab' kotor yang dianut sebagian center-center busuk, yang, saya rasa, mungkin memang memiliki tendency untuk menghancurkan komunitas ini, for whatever reason. Apapun persaingan yang di spekulasi para 'tikus rehab', para pelaku sebenarnya (recovering addicts) tetap harus bersatu dan tidak saling menjegal.

Mungkin perlu adanya suatu badan atau organisasi atau asosiasi -atau apapun itu-, yang dapat menjadi media persatuan antar para
recovering addict, yang tidak melihat dari program mana ia berasal, namun melihat dari essence sesungguhnya, yaitu keinginan untuk mempertahankan recovery. Ini akan menjadi sebuah support system yang tidak bisa didapatkan dari pihak lain, tidak dapat ditandingi. We should unite, as one and nothing in between.
Blogged with the Flock Browser

June 6, 2008

The pressure of recovery

Jumlah dari recovering addict yang kembali ke pola addiction, atau relapse - tidak bisa dibilang sedikit. Setiap angkatan -apabila kita mengambil contoh dari treatment center- memberikan lebih banyak nilai relapse dibanding jumlah mereka yang berhasil maintain total abstinence. Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan dan tidak encouraging.

Saya sebagai salah-satu yang masuk dalam kategori golongan yang dapat di- 'survey' diatas jelas mengalami dilema ini dalam proses recovery saya. Fakta bahwa tingkat relapse lebih besar daripada tingkat keberhasilan membuat saya -dan banyak teman lain- menjadi kurang percaya diri dalam menjalani proses recovery, dan yang lebih ironis lagi adalah ketakutan (yang menjurus pada paranoia) akan kejatuhan yang menyebabkan jalannya proses menjadi sangat memberatkan, dan memberikan perasaan yang kurang lebih sama seperti pertama kali memutuskan untuk berenang dilaut setelah nonton film Jaws.

Saya perhatikan, manifestasi dari keadaan diatas adalah banyaknya jumlah para (yang sebagian adalah termasuk hasil terbaik program rehabilitasi)
recovering addicts yang relapse. Dan alasan dibalik ironi ini adalah, salah satunya, pressure yang demikian berat terhadap para recovering addicts untuk mempertahankan abstinence-nya dan tidak boleh lengah sedikitpun, tidak boleh jatuh sedikitpun atau kami semua hancur dan kembali ke titik awal.

I do not agree, I have to say. Tapi pendirian ini tidak dapat saya pegang pada waktu masih menjalani program (dan cukup lama setelahnya), karena berbagai doktrin yang saya dapatkan dan juga false believe tersebut. Memang, diperlukan jiwa yang kuat untuk dapat bertahan hidup sebagai seorang recovering addict, apabila masih mau melanjutkan hidup tanpa ketergantungan. Diperlukan juga pendirian yang kuat untuk tetap mempertahankan 'keabsahan' dari recovery yang dijalani. Semua itu betul.

Tapi kemudian, disini justru banyak asumsi yang salah arah, malah cenderung menyesatkan. Yang meyakinkan begitu banyak orang bahwa
abstinence adalah satu-satunya cara kita dapat mempertahankan recoevery. Bahwa dengan satu teguk alkohol saja artinya orang tersebut sudah gagal dalam recovery dan sepatutnya kembali menjalani program di pusat rehabilitasi.

Kali ini saya mencoba untuk lebih netral dalam bersikap, dan menentukan sendiri tingkat
recovery saya dan akibat yang ditanggung-nya. Saya mencoba untuk 'lebih santai' dalam menjalani proses -yang tidak mudah itu-, dengan cara mengetahui betul kelemahan-kelemahan yang kemudian saya jadikan 'dont's'. Begitu 'dont's' ini terbentuk, stick with it like Hillary stick to Bill. No matter what happens, keep it!

Ini bukan berarti saya kemudian bebas 'ngapain aja', justru dengan adanya pendirian baru dalam menjalani recovery ini, disiplin yang perlu di tata jauh lebih besar daripada sebelumnya, saat masih berpegangan pada doktrin lama. I must realize my limitations without anybody telling me what my limitations are, I must be mature enough to get out of the situation that might jeopardies my recovery and, for heaven's sake, I must stick to the dont's! Ini tidak mudah, lalu kenapa saya katakan ini lebih mudah dari sebelumnya? Karena kali ini saya menjalaninya dengan suka rela, tanpa keterpaksaan dan tanpa ketakutan berlebihan.

Begitu saya tahu bahwa
support system yang saya miliki cukup kuat, dan -yang terpenting- bahwa diri saya telah kuat, maka saya yakin untuk extend proses ini lebih jauh lagi kedepan dan semakin memperkuat kualitas dari recovery. Sekali lagi, bahwa dengan menjalani ini timbul sebuah tanggung jawab dan memerlukan jiwa yang lebih besar lagi. Saya yakin bahwa jalan inilah yang membuat proses keluar dari ketergantungan bagi mereka yang berhasil, yaitu dengan tidak menakut-nakuti diri sendiri dengan the pressure of recovery. After all, there's life it self which is greater than the recovery. Recovery adalah salah satu komponen (penting) dalam hidup yang perlu dijaga, dirawat dan dipertahankan, bukan ditakuti.

Blogged with the Flock Browser

June 3, 2008

Once an addict always an addict

Hello, welcome to the recovery-centric!

Pada posting pertama ini saya ingin membahas mengenai 'nasib' seorang addict dalam menjalani sisa hidupnya pasca recovery. Sebagian dari orang percaya bahwa addiction tidak ada habisnya, atau dengan kata lain: "terkutuk seumur hidup". Namun saya memilih untuk tidak mengikuti kepercayaan itu. Saya yakin bahwa seorang addict dapat kembali hidup normal seperti yang lainnya, tanpa harus terus-menerus di bayangi oleh past-nya sebagai seorang addict. Lagipula, apabila hal tersebut benar (once an addict always an addict), so what's the point of having to undergo the hard process of recovery?

Dulu, tidak dapat saya pungkiri bahwa kepercayaan tersebut memang kental dalam mental saya (dan banyak recovering addict lainnya), karena memang demikian kami diajari dalam institusi rehabilitasi yang kami jalani. Bahwa dengan adanya kami disana, maka kami adalah seorang addict, dan seorang addict tidaklah dapat secara total 'kembali normal' maka seterusnya kami adalah addict. "Betul, anda adalah seorang junkie, dulu anda junkie, sekarang anda junkie dan sampai kapanpun akan jadi junkie". Cara ini memang ampuh dalam meningkatkan kesadaran junkie sialan yang tidak tahu diri macam saya dulu. Tapi lambat laun, justru menjadi momok tersendiri dalam proses saya menjalani recovery. Sebuah kepercayaan yang awalnya begitu berarti, berubah menjadi beban yang demikian berat dan tidak ada akhirnya. It's an endless road, therefore you'll never get to the end except you are 6 feet under.

Hal inilah yang kemudian saya sadari bahwa pendekatan tersebut tidak selamanya positif, dan yang pasti tidak selamanya benar. Saya menjalani lebih dari 5 tahun dalam ketidakpastian yang membuat, -to be honest-, proses recovery saya sedikit berantakan, yaitu mengarah pada suatu tujuan yang tidak jelas lagi titiknya. Kemudian saya sampai di sebuah proses dimana recovery menjadi hal yang sangat membosankan, berat dan tidak ada artinya lagi. Kosong.

Maka kemudian saya mulai berpikir bahwa semua ini sudah cukup. Saya sudah cukup mature untuk mengetahui bahwa saya tidak seharusnya kembali ke siklus dulu (sebagai addict), saya tahu apa-apa saja yang harus saya hindari dan apa yang harus saya pertahankan, ya, sama seperti yang lainnya. Awalnya saya takut menjalani cara ini, karena begitu banyaknya doktrin yang saya dapatkan selama ini yang mengatakan bahwa tidak mungkin seorang addict menjalani kehidupan seperti layaknya orang normal.

Yang cukup mengagetkan, pada masa itu justru saya menjalani proses recovery (yang sudah dalam tahap maintenance), demikian mudah dan lapang di dada. No extended pressure, no extra stress, hanya proses yang memang saya tahu harus saya jalani dan demikian adanya. Ketakutan jelas berkurang, paranoia terhadap kejatuhan (relapse) juga tidak lagi saya rasa menjadi beban yang terlalu berat sehingga menahan laju perkembangan saya, baik secara psikologis, sosial maupun produktifitas. Seketika keterpaksaan dalam menjalani recovery sirna dan timbul semangat baru, yang kali ini jelas tujuannya. Kemudian saya memutuskan untuk hidup normal dan tidak lagi hidup according to the past.

And it stays 'till now. Sekarang saya lebih suka untuk melihat awareness yang saya pegang, yaitu menjauhi hal-hal yang memungkinkan saya menjadi addict, dan menjaga hal-hal positif untuk kehidupan saya. Bukankah hal ini juga diterapkan oleh orang-orang yang tidak pernah menjadi addict? Bukankah ini 'normal'?

Memang kemudian deksripsi dari awareness tersebut berbeda antara satu orang dengan lainnya. Tapi ini tidak membuat hal tersebut 'tidak normal'. Ini sangat lumrah terjadi dan terhadap siapa ini menjadi keyakinan, addicts or non addicts. Jadi kesimpulan bahwa seorang yang dulunya pernah menjadi addict tidak pernah bisa kembali menjalani hidup layaknya orang normal adalah sesuatu yang saya anggap sudah usang. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dan tingkat maturity kita dalam bersikap dengan hal tersebut. Am I a drug addict? No, I used to be, but not anymore. And now I choose to live my life in a normal way of living.



Blogged with the Flock Browser