June 6, 2008

The pressure of recovery

Jumlah dari recovering addict yang kembali ke pola addiction, atau relapse - tidak bisa dibilang sedikit. Setiap angkatan -apabila kita mengambil contoh dari treatment center- memberikan lebih banyak nilai relapse dibanding jumlah mereka yang berhasil maintain total abstinence. Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan dan tidak encouraging.

Saya sebagai salah-satu yang masuk dalam kategori golongan yang dapat di- 'survey' diatas jelas mengalami dilema ini dalam proses recovery saya. Fakta bahwa tingkat relapse lebih besar daripada tingkat keberhasilan membuat saya -dan banyak teman lain- menjadi kurang percaya diri dalam menjalani proses recovery, dan yang lebih ironis lagi adalah ketakutan (yang menjurus pada paranoia) akan kejatuhan yang menyebabkan jalannya proses menjadi sangat memberatkan, dan memberikan perasaan yang kurang lebih sama seperti pertama kali memutuskan untuk berenang dilaut setelah nonton film Jaws.

Saya perhatikan, manifestasi dari keadaan diatas adalah banyaknya jumlah para (yang sebagian adalah termasuk hasil terbaik program rehabilitasi)
recovering addicts yang relapse. Dan alasan dibalik ironi ini adalah, salah satunya, pressure yang demikian berat terhadap para recovering addicts untuk mempertahankan abstinence-nya dan tidak boleh lengah sedikitpun, tidak boleh jatuh sedikitpun atau kami semua hancur dan kembali ke titik awal.

I do not agree, I have to say. Tapi pendirian ini tidak dapat saya pegang pada waktu masih menjalani program (dan cukup lama setelahnya), karena berbagai doktrin yang saya dapatkan dan juga false believe tersebut. Memang, diperlukan jiwa yang kuat untuk dapat bertahan hidup sebagai seorang recovering addict, apabila masih mau melanjutkan hidup tanpa ketergantungan. Diperlukan juga pendirian yang kuat untuk tetap mempertahankan 'keabsahan' dari recovery yang dijalani. Semua itu betul.

Tapi kemudian, disini justru banyak asumsi yang salah arah, malah cenderung menyesatkan. Yang meyakinkan begitu banyak orang bahwa
abstinence adalah satu-satunya cara kita dapat mempertahankan recoevery. Bahwa dengan satu teguk alkohol saja artinya orang tersebut sudah gagal dalam recovery dan sepatutnya kembali menjalani program di pusat rehabilitasi.

Kali ini saya mencoba untuk lebih netral dalam bersikap, dan menentukan sendiri tingkat
recovery saya dan akibat yang ditanggung-nya. Saya mencoba untuk 'lebih santai' dalam menjalani proses -yang tidak mudah itu-, dengan cara mengetahui betul kelemahan-kelemahan yang kemudian saya jadikan 'dont's'. Begitu 'dont's' ini terbentuk, stick with it like Hillary stick to Bill. No matter what happens, keep it!

Ini bukan berarti saya kemudian bebas 'ngapain aja', justru dengan adanya pendirian baru dalam menjalani recovery ini, disiplin yang perlu di tata jauh lebih besar daripada sebelumnya, saat masih berpegangan pada doktrin lama. I must realize my limitations without anybody telling me what my limitations are, I must be mature enough to get out of the situation that might jeopardies my recovery and, for heaven's sake, I must stick to the dont's! Ini tidak mudah, lalu kenapa saya katakan ini lebih mudah dari sebelumnya? Karena kali ini saya menjalaninya dengan suka rela, tanpa keterpaksaan dan tanpa ketakutan berlebihan.

Begitu saya tahu bahwa
support system yang saya miliki cukup kuat, dan -yang terpenting- bahwa diri saya telah kuat, maka saya yakin untuk extend proses ini lebih jauh lagi kedepan dan semakin memperkuat kualitas dari recovery. Sekali lagi, bahwa dengan menjalani ini timbul sebuah tanggung jawab dan memerlukan jiwa yang lebih besar lagi. Saya yakin bahwa jalan inilah yang membuat proses keluar dari ketergantungan bagi mereka yang berhasil, yaitu dengan tidak menakut-nakuti diri sendiri dengan the pressure of recovery. After all, there's life it self which is greater than the recovery. Recovery adalah salah satu komponen (penting) dalam hidup yang perlu dijaga, dirawat dan dipertahankan, bukan ditakuti.

Blogged with the Flock Browser

No comments: