October 5, 2008

Following your passion



Mungkin judul diatas tidak seberapa meaningful, apabila anda tidak membaca keseluruhan posting ini. Jelas, mengingat dan menikmati pengalaman baik dimasa lalu cukup menyenangkan. Tapi saya tidak berhenti sampai disitu.

Dulu, ketika bekerja di salah satu Yayasan yang merawat dan melatih recovering addicts, tidak sedikit cemoohan saya terima, begitu juga orang-orang yang memandang sebelah mata terhadap karir yang saya jalani. Komentar-komentar negatif dan pertanyaan yang sedikit-banyak merendahkan sering saya terima, sampai sudah tidak ada artinya lagi bagi saya (dan mungkin rekan lain sesama konselor).

"Are you even making any money there?" atau "Emang enak ya, ngurusin addict?" sampai ke "Itu sih cuma pelarian aja, bukan karir!".

Setelah sekian lama bertahan, akhirnya saya mulai terpikir untuk mencoba bidang lain, diluar bidang yang sangat saya kuasai -dan nikmati- itu. Saya mulai bekerja di tempat lain, bahkan memulai bisnis sendiri. Apa yang saya alami dan pelajari selama menjadi konselor adiksi sangat membantu dalam karir saya diluar dunia adiksi.

Namun, setelah 4 tahun saya berkarir dan menekuni bidang lain, saya menyadari bahwa passion saya tetap berada disana. Tidak ada yang dapat mengalahkan perasaan puas menolong orang lain yang sedang dalam deep trouble, when they had no where to turn to. Perasaan bangga ketika melihat klien dan keluarganya bahagia setelah berhasil keluar dari masalah adiksi. There's nothing like it. Not even money!

Jadi saya mulai kembali meniti karir kearah sana. Saya sudah membulatkan tekad untuk terjun all the way, tanpa mengesampingkan keperluan pribadi dan keluarga saya akan penghasilan. And I think it's the best decision I've ever made in quite sometime.

Tentu, banyak pertimbangan dan perhitungan yang harus dipikirkan matang-matang. Dan saya rasa saya membutuhkan courage yang tanpa batas untuk melakukan hal ini. But I'm happy with it, there's where my passion lies. And I know I should follow where my passion leads me.

Dengan passion, segala pekerjaan menjadi lebih mudah, dan yang pasti lebih menyenangkan untuk dijalani. Berapa berat-pun rintangan dan halangan yang pasti akan datang, apabila passion berada tepat di tempatnya, semua hal itu akan menjadi suatu hal biasa yang dengan senang hati anda lewati. So go out there and follow where your passion leads you!

July 25, 2008

Change only the things we can


Seorang recovering addict pernah bertanya ke saya, "Sulit untuk saya bisa menjalani recovery, karena setiap kali saya coba untuk berubah selalu akhirnya gagal, tidak pernah sekalipun mendekati keberhasilan". Saya tanyakan kembali apa yang coba ia ubah, dan jawabannya cukup menjelaskan kenapa ia tidak bisa maju dalam proses perubahannya: Karena ia mencoba untuk merubah lingkungan dan orang-orang disekitarnya.

Saya rasa sangat sulit untuk kita dapat merubah orang lain selain diri sendiri. Memang, dalam recovery lingkungan dan orang yang berhubungan dekat dengan kita pasti merupakan suatu elemen yang penting untuk dijaga. Bukan hubungan yang dijaga, tapi bentuk dan sifat dari kedua komponen itu, seperti 'dimana' dan 'siapa'.

Saya katakan kepada orang tadi, "It's useless to try to change your surroundings, you might try, but there's a huge possibility that you will end up sorrow". Ia lalu menjawab bahwa berada di lingkungan dan sekitar orang yang tidak supportive membuat ia m
enjadi tidak dapat maksimal menjalani recovery.

Ini sangat betul, dan ini yang selalu terjadi dimanapun ada recovering addict. Recovering ad
dict yang berada di tengah-tengah lingkungan dan orang-orang yang tidak mendukung (atau tidak paham) recovery jelas merugikan. Tapi mencoba merubah mereka lebih merugikan lagi.

Instead, we could try to move to someplace more emphatic to our needs. And that is why we have recovery centers.. really! Berada di lingkungan yang mengerti kebutuhan kita jelas menguntungkan, walau tidak berarti lebih mudah (karena akan banyak terpaksa melakukan hal-hal tidak kita ingini). Tapi ini akan jauh lebih mudah daripada kita berbakti untuk merubah lingkungan.

Semakin banyak waktu dan tenaga kita curahkan untuk mengubah sesuatu yang sulit untuk kita ubah, dan tidak dalam kuasa kita untuk merubah, maka semakin banyak kesempatan baik akan hilang. Jadi jangan coba untuk merubah orang lain, atau lingkungan. Ubah diri sendiri. Bekali diri sendiri dengan strength and wisdom dimana ketika kita kembali berada di lingkungan dan orang-orang yang tidak mendukung recovery, kita tetap akan bertahan dan berkembang dari waktu-ke-waktu.

"God, grant me the Serenity to Accept the things we cannot change, the Courage to Change the things we can and the Wisdom to Know the difference."
(serenity prayers, Reinhold Niebuhr)

July 23, 2008

The missing 'action'

Hello, there! Sorry for the absence, really got a lot to do lately. It seems like 24 hour a day is not enough! Dalam waktu 'bertapa' kemarin-kemarin ini, saya sangat disibukan dengan berbagai persoalan kerja dan juga pencarian solusi untuk menanggulangi berbagai masalah tersebut. It ain't easy, let me tell you that. Namun banyak yang saya pelajari, dan itu merupakan pelajaran yang sangat berarti. Salah satu yang saya sadari dalam kebiasaan manusia, dalam hal ini (atau blog ini) adalah recovering addicts yang sering sekali sulit untuk bergerak melakukan sesuatu, walaupun sebenarnya itu adalah ide atau kemauannya sendiri.

Recovering addict keluar dari program dengan penuh harapan. Harapan akan terjadinya sesuatu yang lebih baik di waktu ini dan yang akan datang. Bekerja, kembali kuliah ataupun aktif di organisasi merupakan pilihan terbanyak dari para lulusan program. Namun, sayangnya hanya sedikit yang berhasil mangatasi barrier yang terbesar: motivasi diri.

Ini sebenarnya turut dilatih dan diberikan pengarahan selama mengikuti program, namun sering sekali saya perhatikan, program itu pun tidak konsisten dalam melaksanakan ajarannya. Contoh yang paling mudah terlihat adalah lacking of aftercare program. Di banyak pusat rehabilitasi, ternyata aftercare program ini menjadi suatu yang kurang penting dibanding primary maupun re-entry program.

Banyak alasannya, mungkin disebabkan oleh sulitnya menarik bayara
n dari para alumnus sehingga program ini menjadi kurang menarik bagi manajemen, tidak adanya tenaga terlatih untuk menangani alumnus, dan masih banyak alasan lain. Yang paling menakutkan adalah pemikiran bahwa continuity program cukup sampai di re-entry, dan aftercare tidak penting.

Selama mengikuti program rehabilitasi, recovering addict mengikuti begitu banyak aturan dan jadwal yang telah terintegrasi dalam program harian, dimana mereka harus mengikuti susunan tersebut. Dalam hal ini memang perkembangan kreatifitas tidak perlu dibahas. Lagipula, ini adalah program rehabilitasi, bukan IKJ. Tapi apa yang hilang, dan sering sekali overlooked adalah hilangnya motivasi diri untuk membuat sesuatu yang tidak termasuk tugas-nya, atau tidak terjadwal. Inilah yang kemudian sering menyebabkan para alumnus memiliki kepribadian yang 'tunggu bola'. Seringkali kepribadian ini menyebabkan 'penyakit kemalasan'.

Seperti yang pernah saya tulis di blog pribadi saya (dario fauri's sunday jazz: positive thinking and positive action), bahwa ide-ide menarik yang sebenarnya bagus dan dapat di implimentasikan akan berakhir hampa tanpa kehadiran motivasi diri ini. Semangat, keceriaan, harapan yang timbul pada saat pembicaraan maupun perencanaan hilang, karena semua hal itu berakhir sampai disana, sampai di pembicaraan dan perencanaan namun tidak ada yang melakukan. Seperti ilustrasi lucu dibawah ini:

This is a story about four people: Everybody, Somebody, Anybody, and Nobody.
There was an important job to be done and Everybody was asked to do it.

Everybody was sure Somebody would do it. Anybody could have done it, but Nobody did it.
Somebody got angry about that because it was Everybody's job.
Everybody thought Anybody could do it, but Nobody realized that Everybody wouldn't do it.

It ended up that Everybody blamed Somebody when actually Nobody asked Anybody.


Seperti ungkapan yang saya tulis di salah satu posting saya di blog pribadi
(dario fauri's sunday jazz: positive thinking and positive action), bahwa sangat penting untuk memiliki positive thinking, namun tidak berarti tanpa positive action. Positive thinking without positive action is positively nothing!.

Procrastination would lead us nowhere. Tidak ada hal y
ang tercapai tanpa kita benar-benar melakukannya. Even when it seemed impossible, our motivation and action will lead us somewhere to the land of possibilities. Hal ini telah terjadi ke banyak orang, banyak role model yang dapat dijadikan panutan mengenai hal ini. Michaelangelo tidak pernah melukis di atap sebelumnya, apabila ia tidak memotivasi diri untuk melakukan apa yang dirasa sebagai sesuatu yang sangat sulit, maka kita tidak akan pernah melihat Sistine Chapel begitu indah.


Apa yang sebenarnya membuat kita begitu sulit untuk memulai melaksanakan sesuatu, itu diluar dari ilmu pengetahuan saya. Yang dapat saya sadari adalah bahwa hal tersebut yang begitu sulit saya hilangkan, dan saya bekerja sangat keras untuk mempertahankan kemalasan tersebut untuk tidak kembali lagi. Penjelasan ilmiahnya, silahkan comment bagi yang paham. Atau mungkin anda ada pemikiran tersendiri mengenai hal ini?

July 5, 2008

Moving on with our recovery


Hari ini saya janjian dengan 2 teman, yang dulunya merupakan clients dari salah satu pusat rehabilitasi dimana saya menjadi counselor. Sebenarnya pertemuan di salah satu tempat ter-cozy di Kemang itu untuk membahas project yang mungkin akan kami lakukan bersama, namun setelah itu selesai kami mulai membicarakan mengenai recovery, baik recovery kami masing-masing maupun secara umum, dan apa yang terbaik yang harus diterapkan oleh para recovering addicts dalam menjaga keabsahan recovery-nya.

We had a great talk, something that I haven't done in such a long time. Ini mengingatkan saya bahwa pertemuan seperti ini tetap perlu untuk dilakukan secara berkala, dan rutin. Mungkin tidak perlu membahas hal-hal yang terlalu berat, atau bahkan tidak harus melulu membahas recovery, but being in a place with them makes me feel right. We should do it more often.

Kami membahas mengenai subjek yang saya bahas diawal blog ini, 'the pressure of recovery'. Seluruh pendapat dari kami bertiga mengamini bahwa salah satu hal yang terberat dalam menjalani recovery justru terletak pada 'beban recovery' itu sendiri. Doktrin-doktrin yang kami dapatkan selama dalam program, yang kemudian tidak terbina secara baik dengan pengertian-pengertian mengenai kehidupan normal setelah treatment membuat doktrin tersebut parkir terlalu lama dalam mental kami, sehingga recovery itu sendiri menjadi everest yang harus kami daki. And we were not a professional climber!

Disadari oleh kami bertiga, apa yang menyebabkan kami dapat bertahan sampai saat ini, justru melalui maturity level yang benar dan jujurlah, recovery dapat dijalani secara 'santai dan apa adanya', tanpa harus dibebani dengan berbagai peraturan yang demikian ketat. Ini benar, cukup lama saya merasakan tertekan oleh berbagai peraturan, , 'all the donts', yang tanpa kompromi mulai secara perlahan mengikis kehidupan sosial saya semenjak menjalani program, bahkan lama setelah menyelesaikan program.

Berkumpul dan bersahabat dengan sesama rekan dalam program jelas merupakan suatu hal positif -selama sama-sama sober-, namun ini tidak boleh sampai menutup pintu kita untuk menjalin ikatan sosial dengan lingkungan diluar komunitas itu. Fakta yang dapat saya perhatikan, bahwa justru mereka yang kembali ke siklus adiksi adalah mereka yang 'playing safe' dengan hanya bergaul dengan sesama recovering addicts. Malah, pada tahap yang lebih parah, hanya bergabung dengan recovering addicts yang berasal dari program atau institusi yang sama. Yang lain semua salah dan semua berbahaya.

Sebenarnya, perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai progress yang stagnan, tidak memiliki perkembangan. Mereka berpikir bahwa dengan selalu berada dalam lingkaran komunitas, maka ia akan baik-baik saja. Ini tidak sepenuhnya salah, karena toh memang komunitas recovering addicts sangat mengerti satu dengan lainnya, namun apabila kehidupan sosial individu yang sudah menyelesaikan program tidak berkembang dan berkumpul dengan 'yang itu-itu juga', sampai pada suatu titik jenuh ia akan kesulitan untuk mempertahankan recovery-nya. Banyak contoh yang dapat dilirik yang berkenaan dengan hal ini.

Sesuai dengan inti hidup pada umumnya, keseimbangan adalah kunci dari kehidupan yang harmonis. Hal ini diungkapkan oleh Indri Makki Iskak dalam bukunya yang membahas mengenai equilibrium (belum rampung saya baca, review menyusul), bahwa apa yang patut dicari seseorang dalam hidup adalah mencari keseimbangan. Dalam ilmu cina yang sudah begitu lama dipercayai, mungkin inilah yang disebut sebagai Yin-Yan.

Begitu juga pada recovery dan sosialisasi individu yang menjalaninya. When you're there, you should be there. Buat apa kita jalan ditempat atau malah mundur dengan mengasingkan diri? Pada waktu kita harus naik ke anak tangga berikutnya, dengan challange yang berbeda, kita harus bergantung pada maturity level kita untuk menilai dimana harus menempatkan diri. Kadang memang menakutkan, but fear is tissue thin, you'll get pass after a single strike. Pertanyaannya adalah mau atau tidak mau...


Blogged with the Flock Browser

July 3, 2008

One step at a time

Saya berbicara dengan banyak recovering addict selama menjadi substance abuse counselor di beberapa pusat rehabilitasi, maupun secara personal. Sama seperti manusia pada umumnya, recovering addict-pun memiliki mimpi dan tujuan hidup. "Aku ingin membalas kesabaran orang-tuaku dengan memberikan total abstinence dan tidak pernah lagi menyentuh narkoba maupun alkohol". Atau, "Saya sudah begitu lama menyusahkan orangtua, saya akan memberikan mereka support finansial sekarang juga". Begitu sering saya dengar ini, dan tidak pernah sekalipun saya memandang mereka dengan tutup mata pirate.

Yang mungkin sedikit saya overlook adalah, bahwa kerap dalam menyatakan tujuan dan mimpinya, para rekan-rekan recovering addict (sekali lagi, tujuan penulisan ini adalah para recovering addict, yang sangat mungkin terjadi juga di masyarakat pada umumnya, akan tetapi saya akan tetap berfokus pada recovering addicts) mengungkapkan apa yang 'muluk-muluk' atau yang jauh diatas kemampuannya saat itu. Ini juga sebenarnya tidak salah, karena sudah seharusnya kita menentukan mimpi setinggi langit, 'gimana nyampenya entar aja deh'..

Namun kesadaran akan adanya proses itulah yang a bit missing dari para rekan-rekan ini. Proses menuju pencapaian tujuan pasti ada, dan akan selalu ada. Dalam proses itu sendiri, akan terdapat masa-masa dimana segalanya seperti datang sendiri ke diri kita, namun juga ada fase yang tidak bersahabat. Keseluruhan pengalaman itulah yang disebut sebagai sebuah proses menuju tujuan akhir. Ini dia yang sering kurang dimengerti oleh recovering addicts, yang sebenarnya mungkin disebabkan oleh semangat yang demikian kuat untuk segera mengejar ketinggalannya selama beberapa lama hidup dalam rotasi yang tidak produktif. Juga kebiasaan menerapkan quick fix mentallity. seperti artikel sebelumnya.

Yang menjadi masalah dengan ketidaksadaran akan proses ini, adalah besarnya kemungkinan 'patah-arang' ketika fase proses memasuki keadaan yang sulit. Saya melihat tingkat relapse yang tinggi, karena salah satu alasan adalah ketidaksabaran orang yang menjalaninya untuk mencapai tahapan-tahapan dalam recovery, sehingga melompati banyak stages. Contohnya, seseorang begitu percaya diri ia sudah dapat mengatasi craving ketika berhadapan dengan teman-teman lamanya yang juga pemakai, ia menemui mereka dengan tujuan mulia untuk mengajak mereka berhenti abusing, namun berakhir dengan menemukan dirinya yang justru 'dimuliakan' kembali oleh komunitas itu. Itu hanya satu contoh. Contoh lain adalah ketidaksabaran mendapatkan banyak uang sebagai tolak-ukur karir, yang berakibat ketidak-efektifan dalam memilih career path.

Kita harus menyadari bahwa dalam mencapai suatu tujuan, pasti terdapat komponen yang tidak berpihak pada kita. Namun kembali lagi, semua itu hanyalah bagian dari proses yang selalu ada, dan pada akhirnya (seperti artikel saya sebelumnya) akan membuat hasil yang didapat lebih manis.

Begitu juga dalam kehidupan dengan konteks yang lebih luas. Bisnis, misalnya. Sulit sekali untuk mendapatkan profit tepat 1 hari setelah project dimulai. Tentu, ini bergantung pada besarnya project tersebut, namun proses tetap selalu ada, yang tidak mungkin untuk dicapai dalam waktu singkat dan melewati proses-proses yang memang harus dilewati. Kecuali kejatuhan uang dari langit, hal ini cukup besar kemungkinan 'tidak mungkin'-nya.

Hal ini perlu, dan penting untuk disadari. Karena ketidakberhasilan dalam mencapai tujuan secara singkat, tanpa kesadaran akan adanya proses akan membuat semangat dan fokus menuju tujuan tersebut sirna, dan secara perlahan atau langsung akan mematikan keinginan untuk mencapai tujuan itu. Semua kisah sukses menjelaskan pada kita tentang pentingnya sebuah proses, dan kesuksesan dalam mencapai tujuan ditentukan oleh determinasi kita dalam meraih sukses tersebut, salah satunya adalah kesadaran bahwa pasti terdapat 'ups and downs' dalam proses yang dijalani.

Blogged with the Flock Browser

June 26, 2008

Tenacity and Persistence

s

Recovery tidak pernah, dan tidak akan pernah menjadi sebuah proses yang mudah. Kadang membayangkan saja sudah menjadi problem tersendiri. Banyak hal yang menjadi pertimbangan seorang addict untuk memulai proses recovery. Satu hal, menerima bahwa ia seorang addict sudah cukup sulit untuk dilakukan. Denial, shame and grandiose to name a few. Kemudian bayangan bahwa proses tersebut memerlukan tenaga ekstra untuk melakukannya, ini yang menjadi tembok yang sulit untuk dirobohkan.

Sayangnya, tidak ada metode yang lain selain menjalani proses recovery secara perlahan namun konsisten. Lupakan bantuan obat-obatan, apalagi dukun. Untuk mencapai hasil yang baik, berbagai komponen harus diikutsertakan dalam proses ini, yang akan menjadi satu-kesatuan, tidak terkecuali. Berbagai pendekatan, seperti psikologis, fisik, religi, perilaku, sosial dan lain sebagainya. Variabel-variabel inilah yang dikemas menjadi sebuah program.

Bayangkan seorang addict yang terbiasa hidup tanpa aturan (paling tidak aturan yang secara suka rela dipatuhinya), tanpa kenal waktu. Satu-satunya 'pengingat' akan waktu adalah withdrawal yang dirasakan. Kemudian hidup harus berubah dengan schedule, berbagai aturan dan disiplin. Belum lagi membayangkan mengikuti ajaran agama. Tidak menjadi suatu hal yang mengagetkan untuk menjumpai seorang addict dalam masa pemulihannya sudah lupa langkah-langkah mengambil wudhu, apalagi sholat. Suatu bayangan yang tergambar jelas, yang dimata para addict adalah sebuah ketakutan besar.

Tahun 1996 saya menjalani sebuah program rehabilitasi yang memaksa saya mengubah total kehidupan saya. Shock (both mentally and culturally), kemudian menimbulkan penolakan tersendiri dalam diri saya. Denial yang sudah demikian sulit dihilangkan, timbul lagi. Proses menjadi demikian sulit, ditambah berada di tengah orang-orang baru, lingkungan baru, dengan gaya hidup dan rotasi hari yang sangat berbeda dari yang dijalani sebelumnya. Ada yang mengatakan ini mudah? Pasti dia berbohong, atau masih dalam pengaruh narkoba.

Keseluruhan proses ini membutuhkan nyali yang sangat besar. Saya rasa orang 'normal'-pun akan mengalami kesulitan yang sama apabila harus menjalani perubahan yang demikian kontras. Namun, recovery -seperti yang saya katakan diawal artikel ini- memang seharusnya tidak mudah. Karena kecenderungan addict yang sering, atau selalu taking things for granted akan kembali ke siklus adiksinya dalam waktu yang cepat. Itu yang terjadi dengan pemulihan dengan obat-obatan atau dukun-dukunan, atau bahkan program asal-asalan.

Ketika saya untuk pertamakalinya setelah waktu yang cukup lama jogging malam tadi, saya teringat akan proses yang saya jalani dulu. Kalau ditilik lebih lanjut, and try to connect the dots, saya melihat dengan jelas kesamaan proses itu. Of course, menjalani proses recovery lebih sulit dan panjang, namun inti proses kira-kira sama, We have to be tenacious and persistent.

Ketika jogging, apalagi setelah waktu yang cukup lama, kita tidak bisa memaksa diri dengan berlari kencang diawal. Mulai dengan perlahan, namun pasti. Godaan datang cukup cepat. Didahului orang lain, melihat orang yang jelas lebih jompo dari kita lari lebih cepat, bahkan lirikan orang yang -mungkin saya hanya paraniod- seperti mencibir. Semua harus dilalui dengan keteguhan hati. Kemudian datang godaan yang lebih besar lagi. "Ah, sudah cukup kali ya, untuk hari ini" muncul ketika masih dalam lap ke 3 dari 7 lap yang direncanakan.

Tentunya, kemudian datang rasa keram, nafas ngos-ngosan, bosan, capek dan lain-lain. But I kept on running, and finished my 7 laps. Disitulah saya teringat akan proses recovery yang saya jalani waktu itu. Berbagai godaan, keletihan mental dan psikologis, cibiran orang... semua dapat saya lalui dengan cukup baik. Begitu juga jogging kali ini. Tentu, lebih mudah jogging daripada recovery, saya cuma ingin memberi contoh.

Tanpa ketegaran hati dan ketekunan, recovery tidak akan berhasil. Dan sebenarnya, jogging juga tidak akan berhasil. Demikian juga dengan bisnis, pernikahan, persahabatan, pembenahan diri dan segala hal lain dalam hidup. Tanpa 2 hal itu, ditambah beberapa lagi sikap positif lainnya, tentu apa yang dijalani akan berakhir seperti titanic, tenggelam dan tinggal sejarah.

Lagipula, dengan berbagai kesulitan yang saya alami dalam masa recovery, menjadikan banyak hal dalam hidup saya sekarang menjadi lebih berarti. The harder the struggle, the sweeter the victory. Sekarang adalah bagaimana saya menyadari bahwa tencity and persistence adalah kunci dari keberhasilan, dan mempertahankan 2 hal tersebut dalam setiap hal yang saya lakukan. Saya rasa anda perlu melakukan hal yang sama, be tenacious, be persistent in everything you do. And always strike for the best result.


Blogged with the Flock Browser

June 10, 2008

Guilt kills



Salah satu behavior dari seorang addict adalah tidak mengakui kesalahan/perbuatan dan dengan sadar menyembunyikan hal tersebut agar terhidar dari konsekuensi yang mungkin datang akibat dari perbuatannya. It's a chicken attitude, I know. But don't get me wrong, I know almost everyone is doing it too. Hanya saja di blog ini saya menulis tentang addicts, jadi fokus akan tetap membahas addicts.

Yang lebih memperparah keadaan mental dari seorang addict, bahwa behavior ini begitu mendarah-daging sehingga kadang sebuah kesalahan kecil yang -apabila orang lain tahu pun- kemungkinan outcome dari perbuatan itu tidaklah berat, bahkan mungkin tidak ada konsekuensi buruk yang harus dihadapi sama sekali. Namun paranoia akan konsekuensi yang begitu berat telah terbayang sebelum akal sehat dapat difungsikan. Mungkin karena addict memang jarang sekali memainkan peran akal sehatnya.

Hal ini menciptakan guilty feeling yang menumpuk, karena memang tidak diselesaikan atau dihadapi. Tumpukan ini menjadi begitu besar yang membuat efek snowball. Semakin ia ditambah dengan guilt baru, semakin ia membesar dan membahayakan. Untuk seorang addict, penambahan beban ini dapat di'celengkan' beberapa kali sehari. Kalau saja guilt merupakan sebuah tabungan uang di bank, tentu seluruh addict adalah sebuah kelompok manusia yang sangat kaya raya.

Handling guilts tidak mudah. Betapapun seorang addict dipercaya sebagai individu yang tidak, atau kurang, memiliki sense of knowing whats right and whats wrong, sebenarnya ia tahu, namun ditutupi dengan sempurna oleh topeng yang digunakan. Bagimanpu, topeng adalah topeng, yang merupakan sebuah tool untuk menutupi apa yang ada dibelakangnya.

Guilt yang bertumpuk inilah yang selalunya membuat proses recovery menjadi sulit untuk dijalani. Almost impossible untuk seorang addict menjalani proses ini apabila masih terus dibayangi oleh past yang buruk. Mungkin ia telah put behind all his mistakes atau telah juga dengan kesungguhan dan determinasi tinggi menyadari perlunya menjalani recovery process, namun, apabila guilt ini tidak dealt with dengan baik, maka proses tersebut akan terus berakhir dengan kegagalan. Because guilt kills!

Dengan penanganan yang benar, termasuk dealing dengan guilt secara efektif dalam salah satu metode 'leaving things behind', maka barulah seorang addict dapat sukses menjalani proses recovery. Memperlakukan guilt sebagai sebuah masalah yang perlu ditangani adalah crutial, tidak dapat dilewatkan dan dianggap remeh. Proses ini mungkin memakan waktu lama, tergantung dari kesungguhan dalam menjalaninya. Ini membutuhkan komitmen dari kedua belah pihak, yang menjalani treatment dan orang yang membantu dalam proses tersebut (konselor).
Blogged with the Flock Browser

June 8, 2008

Unity is the key



Hopeless dengan macetnya jalanan Jakarta, sambil ganti-ganti lagu di iPod saya tersenyum dengan satu tulisan di kaca belakang Metro Mini di depan saya yang dengan santai-nya 'parkir' di tengah jalan, dimana sisa jalanan tidak lagi cukup untuk dilewati mobil, hanya motor yang nyelip-nyelip. Biasanya saya akan merasa kesal, namun kali ini tidak. Malah mendatangkan inspirasi. Tertulis di kaca itu "Bersaing kita di jalanan, bersatu kita di pangkalan".

Tahun 1998 adalah mulainya tahun menjamurnya
recovery center di Indonesia, terutama Jakarta. Dimulai oleh sebuah yayasan dimana saya lama bekerja disana, Titihan Respati, kemudian menyusul 'almamater' saya, Rumah Pengasih yang berasal dari Malaysia. Setelah itu banyak bermunculan pusat rehabilitasi baru, baik yang serius maupun yang hanya ikut-ikutan (sesuai karakteristik Indonesia). Of course, kelanjutan dari sekian banyak recovery center ini dapat terukur dari awal. Mereka yang serius tentu akan terus eksis dan bertambah kuat. Lain hal dengan center baru yang mungkin diawali oleh mereka yang gagal di center yang sudah ada, atau para 'mata duitan' yang coba untuk menduitkan kegiatan sosial ini.

Betul, seperti juga anda saya menyadari bahwa tidak peduli seberapa
noble niat kita dalam menolong orang, pasti ada yang mencari emas didalamnya, dan dengan cara yang tidak baik. Lah, wong duit bantuan Tsunami saja dijadikan penambah kekayaan pribadi, apalagi rehabilitasi. Apapun latar belakang center-nya, orang-orang (recovering addict) yang ada didalamnya seharusnya tetap diperhitungkan sebagai seorang recovering addict yang memang sedang mencari cara untuk berhenti dari addiction-nya dan seharusnya tidak di-ikut-sertakan dalam 'politik rehabilitasi' yang terus berkembang menjadi publikasi yang menjijikan.

Untuk mereka yang berada di
center yang kurang baik, mungkin mereka tidak punya pilihan lain karena informasi mengenai center yang baik tidak sampai ke mereka. Kembali lagi kepada anggota didalamnya, karena 'politik' itulah mereka saling bersaing -bukan bersatu-, yang menyebabkan adanya saling tuding dan bad rapping antar para anggota recovery center. Gosip-gosip murahan mulai berterbangan bebas, saling ejek, saling adu-jago dan saling jatuh-menjatuhkan. Dan ini lambat laun mulai ikut pula menjangkiti center yang terhitung berada di jalur yang benar. Pecahnya perkelahian antar center yang sebenarnya bersahabat pada sebuah pertandingan di kompetisi basket antar rehab adalah satu dari snowball effect permasalahan ini.

Recovering addict -tidak seperti masyarakat pada umumnya- adalah sebuah komunitas yang spesial, yang unik dan -correct me if I'm wrong- termasuk dalam kategori minoritas. Seharusnya semua harus bisa mempertahankan kesatuan tanpa terpengaruh oleh 'politik rehab' kotor yang dianut sebagian center-center busuk, yang, saya rasa, mungkin memang memiliki tendency untuk menghancurkan komunitas ini, for whatever reason. Apapun persaingan yang di spekulasi para 'tikus rehab', para pelaku sebenarnya (recovering addicts) tetap harus bersatu dan tidak saling menjegal.

Mungkin perlu adanya suatu badan atau organisasi atau asosiasi -atau apapun itu-, yang dapat menjadi media persatuan antar para
recovering addict, yang tidak melihat dari program mana ia berasal, namun melihat dari essence sesungguhnya, yaitu keinginan untuk mempertahankan recovery. Ini akan menjadi sebuah support system yang tidak bisa didapatkan dari pihak lain, tidak dapat ditandingi. We should unite, as one and nothing in between.
Blogged with the Flock Browser

June 6, 2008

The pressure of recovery

Jumlah dari recovering addict yang kembali ke pola addiction, atau relapse - tidak bisa dibilang sedikit. Setiap angkatan -apabila kita mengambil contoh dari treatment center- memberikan lebih banyak nilai relapse dibanding jumlah mereka yang berhasil maintain total abstinence. Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan dan tidak encouraging.

Saya sebagai salah-satu yang masuk dalam kategori golongan yang dapat di- 'survey' diatas jelas mengalami dilema ini dalam proses recovery saya. Fakta bahwa tingkat relapse lebih besar daripada tingkat keberhasilan membuat saya -dan banyak teman lain- menjadi kurang percaya diri dalam menjalani proses recovery, dan yang lebih ironis lagi adalah ketakutan (yang menjurus pada paranoia) akan kejatuhan yang menyebabkan jalannya proses menjadi sangat memberatkan, dan memberikan perasaan yang kurang lebih sama seperti pertama kali memutuskan untuk berenang dilaut setelah nonton film Jaws.

Saya perhatikan, manifestasi dari keadaan diatas adalah banyaknya jumlah para (yang sebagian adalah termasuk hasil terbaik program rehabilitasi)
recovering addicts yang relapse. Dan alasan dibalik ironi ini adalah, salah satunya, pressure yang demikian berat terhadap para recovering addicts untuk mempertahankan abstinence-nya dan tidak boleh lengah sedikitpun, tidak boleh jatuh sedikitpun atau kami semua hancur dan kembali ke titik awal.

I do not agree, I have to say. Tapi pendirian ini tidak dapat saya pegang pada waktu masih menjalani program (dan cukup lama setelahnya), karena berbagai doktrin yang saya dapatkan dan juga false believe tersebut. Memang, diperlukan jiwa yang kuat untuk dapat bertahan hidup sebagai seorang recovering addict, apabila masih mau melanjutkan hidup tanpa ketergantungan. Diperlukan juga pendirian yang kuat untuk tetap mempertahankan 'keabsahan' dari recovery yang dijalani. Semua itu betul.

Tapi kemudian, disini justru banyak asumsi yang salah arah, malah cenderung menyesatkan. Yang meyakinkan begitu banyak orang bahwa
abstinence adalah satu-satunya cara kita dapat mempertahankan recoevery. Bahwa dengan satu teguk alkohol saja artinya orang tersebut sudah gagal dalam recovery dan sepatutnya kembali menjalani program di pusat rehabilitasi.

Kali ini saya mencoba untuk lebih netral dalam bersikap, dan menentukan sendiri tingkat
recovery saya dan akibat yang ditanggung-nya. Saya mencoba untuk 'lebih santai' dalam menjalani proses -yang tidak mudah itu-, dengan cara mengetahui betul kelemahan-kelemahan yang kemudian saya jadikan 'dont's'. Begitu 'dont's' ini terbentuk, stick with it like Hillary stick to Bill. No matter what happens, keep it!

Ini bukan berarti saya kemudian bebas 'ngapain aja', justru dengan adanya pendirian baru dalam menjalani recovery ini, disiplin yang perlu di tata jauh lebih besar daripada sebelumnya, saat masih berpegangan pada doktrin lama. I must realize my limitations without anybody telling me what my limitations are, I must be mature enough to get out of the situation that might jeopardies my recovery and, for heaven's sake, I must stick to the dont's! Ini tidak mudah, lalu kenapa saya katakan ini lebih mudah dari sebelumnya? Karena kali ini saya menjalaninya dengan suka rela, tanpa keterpaksaan dan tanpa ketakutan berlebihan.

Begitu saya tahu bahwa
support system yang saya miliki cukup kuat, dan -yang terpenting- bahwa diri saya telah kuat, maka saya yakin untuk extend proses ini lebih jauh lagi kedepan dan semakin memperkuat kualitas dari recovery. Sekali lagi, bahwa dengan menjalani ini timbul sebuah tanggung jawab dan memerlukan jiwa yang lebih besar lagi. Saya yakin bahwa jalan inilah yang membuat proses keluar dari ketergantungan bagi mereka yang berhasil, yaitu dengan tidak menakut-nakuti diri sendiri dengan the pressure of recovery. After all, there's life it self which is greater than the recovery. Recovery adalah salah satu komponen (penting) dalam hidup yang perlu dijaga, dirawat dan dipertahankan, bukan ditakuti.

Blogged with the Flock Browser

June 3, 2008

Once an addict always an addict

Hello, welcome to the recovery-centric!

Pada posting pertama ini saya ingin membahas mengenai 'nasib' seorang addict dalam menjalani sisa hidupnya pasca recovery. Sebagian dari orang percaya bahwa addiction tidak ada habisnya, atau dengan kata lain: "terkutuk seumur hidup". Namun saya memilih untuk tidak mengikuti kepercayaan itu. Saya yakin bahwa seorang addict dapat kembali hidup normal seperti yang lainnya, tanpa harus terus-menerus di bayangi oleh past-nya sebagai seorang addict. Lagipula, apabila hal tersebut benar (once an addict always an addict), so what's the point of having to undergo the hard process of recovery?

Dulu, tidak dapat saya pungkiri bahwa kepercayaan tersebut memang kental dalam mental saya (dan banyak recovering addict lainnya), karena memang demikian kami diajari dalam institusi rehabilitasi yang kami jalani. Bahwa dengan adanya kami disana, maka kami adalah seorang addict, dan seorang addict tidaklah dapat secara total 'kembali normal' maka seterusnya kami adalah addict. "Betul, anda adalah seorang junkie, dulu anda junkie, sekarang anda junkie dan sampai kapanpun akan jadi junkie". Cara ini memang ampuh dalam meningkatkan kesadaran junkie sialan yang tidak tahu diri macam saya dulu. Tapi lambat laun, justru menjadi momok tersendiri dalam proses saya menjalani recovery. Sebuah kepercayaan yang awalnya begitu berarti, berubah menjadi beban yang demikian berat dan tidak ada akhirnya. It's an endless road, therefore you'll never get to the end except you are 6 feet under.

Hal inilah yang kemudian saya sadari bahwa pendekatan tersebut tidak selamanya positif, dan yang pasti tidak selamanya benar. Saya menjalani lebih dari 5 tahun dalam ketidakpastian yang membuat, -to be honest-, proses recovery saya sedikit berantakan, yaitu mengarah pada suatu tujuan yang tidak jelas lagi titiknya. Kemudian saya sampai di sebuah proses dimana recovery menjadi hal yang sangat membosankan, berat dan tidak ada artinya lagi. Kosong.

Maka kemudian saya mulai berpikir bahwa semua ini sudah cukup. Saya sudah cukup mature untuk mengetahui bahwa saya tidak seharusnya kembali ke siklus dulu (sebagai addict), saya tahu apa-apa saja yang harus saya hindari dan apa yang harus saya pertahankan, ya, sama seperti yang lainnya. Awalnya saya takut menjalani cara ini, karena begitu banyaknya doktrin yang saya dapatkan selama ini yang mengatakan bahwa tidak mungkin seorang addict menjalani kehidupan seperti layaknya orang normal.

Yang cukup mengagetkan, pada masa itu justru saya menjalani proses recovery (yang sudah dalam tahap maintenance), demikian mudah dan lapang di dada. No extended pressure, no extra stress, hanya proses yang memang saya tahu harus saya jalani dan demikian adanya. Ketakutan jelas berkurang, paranoia terhadap kejatuhan (relapse) juga tidak lagi saya rasa menjadi beban yang terlalu berat sehingga menahan laju perkembangan saya, baik secara psikologis, sosial maupun produktifitas. Seketika keterpaksaan dalam menjalani recovery sirna dan timbul semangat baru, yang kali ini jelas tujuannya. Kemudian saya memutuskan untuk hidup normal dan tidak lagi hidup according to the past.

And it stays 'till now. Sekarang saya lebih suka untuk melihat awareness yang saya pegang, yaitu menjauhi hal-hal yang memungkinkan saya menjadi addict, dan menjaga hal-hal positif untuk kehidupan saya. Bukankah hal ini juga diterapkan oleh orang-orang yang tidak pernah menjadi addict? Bukankah ini 'normal'?

Memang kemudian deksripsi dari awareness tersebut berbeda antara satu orang dengan lainnya. Tapi ini tidak membuat hal tersebut 'tidak normal'. Ini sangat lumrah terjadi dan terhadap siapa ini menjadi keyakinan, addicts or non addicts. Jadi kesimpulan bahwa seorang yang dulunya pernah menjadi addict tidak pernah bisa kembali menjalani hidup layaknya orang normal adalah sesuatu yang saya anggap sudah usang. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dan tingkat maturity kita dalam bersikap dengan hal tersebut. Am I a drug addict? No, I used to be, but not anymore. And now I choose to live my life in a normal way of living.



Blogged with the Flock Browser