Hari ini saya janjian dengan 2 teman, yang dulunya merupakan
clients dari salah satu pusat rehabilitasi dimana saya menjadi
counselor. Sebenarnya pertemuan di salah satu tempat ter-
cozy di Kemang itu untuk membahas
project yang mungkin akan kami lakukan bersama, namun setelah itu selesai kami mulai membicarakan mengenai
recovery, baik
recovery kami masing-masing maupun secara umum, dan apa yang terbaik yang harus diterapkan oleh para
recovering addicts dalam menjaga keabsahan
recovery-nya.
We had a great talk, something that I haven't done in such a long time. Ini mengingatkan saya bahwa pertemuan seperti ini tetap perlu untuk dilakukan secara berkala, dan rutin. Mungkin tidak perlu membahas hal-hal yang terlalu berat, atau bahkan tidak harus melulu membahas
recovery,
but being in a place with them makes me feel right. We should do it more often.Kami membahas mengenai subjek yang saya bahas diawal blog ini,
'the pressure of recovery'. Seluruh pendapat dari kami bertiga mengamini bahwa salah satu hal yang terberat dalam menjalani
recovery justru terletak pada 'beban
recovery' itu sendiri. Doktrin-doktrin yang kami dapatkan selama dalam program, yang kemudian tidak terbina secara baik dengan pengertian-pengertian mengenai kehidupan normal setelah
treatment membuat doktrin tersebut parkir terlalu lama dalam mental kami, sehingga
recovery itu sendiri menjadi everest yang harus kami daki.
And we were not a professional climber!
Disadari oleh kami bertiga, apa yang menyebabkan kami dapat bertahan sampai saat ini, justru melalui
maturity level yang benar dan jujurlah,
recovery dapat dijalani secara 'santai dan apa adanya', tan
pa harus dibebani dengan berbagai peraturan yang demikian ketat. Ini benar, cukup lama saya merasakan tertekan oleh berbagai peraturan, ,
'all the donts', yang tanpa kompromi mulai secara perlahan mengikis kehidupan sosial saya semenjak menjalani program, bahkan lama setelah menyelesaikan program.
Berkumpul dan bersahabat dengan sesama rekan dalam program jelas merupakan suatu hal positif -selama sama-sama
sober-, namun ini tidak boleh sampai menutup pintu kita untuk menjalin ikatan sosial dengan lingkungan diluar komunitas itu. Fakta yang dapat saya perhatikan, bahwa justru mereka yang kembali ke siklus adiksi adalah mereka yang '
playing safe' dengan hanya bergaul dengan sesama
recovering addicts. Malah, pada tahap yang lebih parah, hanya bergabung dengan
recovering addicts yang berasal dari program atau institusi yang sama. Yang lain semua salah dan semua berbahaya.
Sebenarnya, perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai progress yang stagnan, tidak memiliki perkembangan. Mereka berpikir bahwa dengan selalu berada dalam lingkaran komunitas, maka ia akan baik-baik saja. Ini tidak sepenuhnya salah, karena toh memang komunitas recovering addicts sangat mengerti satu dengan lainnya, namun apabila kehidupan sosial individu yang sudah menyelesaikan program tidak berkembang dan berkumpul dengan 'yang itu-itu juga', sampai pada suatu titik jenuh ia akan kesulitan untuk mempertahankan
recovery-nya. Banyak contoh yang dapat dilirik yang berkenaan dengan hal ini.
Sesuai dengan inti hidup pada umumnya, keseimbangan adalah kunci dari kehidupan yang harmonis. Hal ini diungkapkan oleh Indri Makki Iskak dalam bukunya yang membahas mengenai
equilibrium (belum rampung saya baca, review menyusul), bahwa apa yang patut dicari seseorang dalam hidup adalah mencari keseimbangan. Dalam ilmu cina yang sudah begitu lama dipercayai, mungkin inilah yang disebut sebagai Yin-Yan.
Begitu juga pada
recovery dan sosialisasi individu yang menjalaninya.
When you're there, you should be there. Buat apa kita jalan ditempat atau malah mundur dengan mengasingkan diri? Pada waktu kita harus naik ke anak tangga berikutnya, dengan
challange yang berbeda, kita harus bergantung pada
maturity level kita untuk menilai dimana harus menempatkan diri. Kadang memang menakutkan,
but fear is tissue thin, you'll get pass after a single strike. Pertanyaannya adalah mau atau tidak mau...